Monday, February 26, 2007

Saya penjaja kue semprong, bukan pengemis

Semalam saya keluar dari Ranch Market jam 8.30. Hujan
deras. Petugas Ranch Market setengah berlari mendorong
trolly berisi barang-barang belanjaan saya. Saya juga
berlari-lari kecil menjajari langkahnya menuju mobil.
Saya membukakan bagasi dan petugas memindahkan
barang-barang belanjaan saya. Seorang penjaja kue
semprong mendekati kami. Memang setahu saya banyak
penjaja kue semprong disana menjajakan barang
dagangannya dengan sedikit memaksa. Karena terlalu
biasa saya tidak mengacuhkannya, apalagi di hujan
deras seperti ini. Setelah memberikan tip saya masuk
mobil, namun masih saya dengar ucapan penjaja kue
semprong tersebut, ‘ Bu, beli kue semprongnya untuk
ongkos pulang ke Tangerang”. Didalam mobil saya
berpikir saya kasih uang saja karena penganan yang
saya beli di supermarket sudah cukup banyak, bagaimana
jika tidak ada yang menghabisnya. Nanti jatuhnya
mubazir.

Saya memang lebih suka dengan para penjaja kue seperti
ini ketimbang pengemis. Pelajaran berharga yang pernah
saya dapat dari mantan bos saya sembilan tahun lalu.
Masih teringat ucapannya ketika itu kami berdiskusi di
kantor. “Coba kalau ada penjaja makanan atau barang
dan pengemis dilampu merah mana yang kamu berikan
uang?, tanyanya. Belum sampai kami menjawab, ia
berkata lagi “ pasti yang kamu berikan uang si
pengemis itu dan penjaja makanan atau barang itu kamu
acuhkan”. Secara serempak kami mengiyakan. “coba
pikirkan lagi, si pengemis itu pemalas tidak bermoral,
kenapa kita kasih uang, sementara si penjaja makanan
ataupun barang punya harga diri, dan pastinya secara
pribadi lebih baik dari si pengemis, lalu kenapa kita
tidak membeli barang dagangan si penjaja makanan atau
barang tersebut? Teman saya nyeletuk,”karena kita ngga
butuh”. Mantan bos saya bergumam, “Ya betul karena
kita tidak butuh”.

Obrolan itu begitu singkat, tapi begitu mengena di
hati saya. Pak Teddy Sutiman membuka mata hati saya
untuk lebih bijaksana dalam melihat suatu persoalan,
bukan hanya berpikir praktis saja. Dan sejak itu saya
lebih memberi perhatian kepada para penjaja makanan
atau barang di jalanan dibandingkan para pengemis.

Penjaja jual kue semprong itu masih dengan setia
menanti disisi mobil saya. Saya menghela nafas. Bukan
karena tidak rela berbagi rejeki tapi karena menyesali
banyak sekali penganan yang sudah saya beli tadi.
Akhirnya saya membuka kaca, “ Pak, saya tidak mau beli
kue semprongnya, tapi kalau bapak saya beri uang mau
tidak?”. Tidak dinyana penjaja kue semprong itu
menggelengkan kepalanya dan pergi dengan cepatnya dari
sisi mobil saya. Saya tersentak dan menutup kaca
jendela, hujan mengguyur deras dan membanjiri sisi
kaca dalam mobil saya karena berbicara dengan si
penjaja kue semprong.

Beberapa detik saya kehilangan daya ingat saya, karena
tidak menyangka ucapan yang keluar dari penjaja kue
semprong tadi. Sembilan tahun saya telah lebih memberi
perhatian kepada para penjaja makanan ataupun barang
dibanding pengemis. Sesekali jika saya tidak butuh
barang mereka, selalu saya ucapkan kalimat tadi, dan
hampir semuanya tidak pernah menolak pemberian saya.
Baru kali ini ada yang menolaknya. Baru kali ini …..

Hujan mengguyur makin deras dan saya masih terpaku di
mobil, terbayang ucapannya “ untuk ongkos pulang ke
Tangerang..” sementara total nilai belanjaan saya tadi
mungkin bisa untuk ongkos pulang Bapak penjaja kue
semprong selama tiga bulan. Tersentak saya
mencari-cari bayangan penjaja kue semprong ditengah
kabut dari derasnya hujan, terlihat pikulannya ada di
pinggir teras sebuah toko tutup. Penjajanya duduk
dibawah dengan muka pasrah. Saya mundurkan mobil
menuju kearahnya. Kembali saya buka kaca jendela
sebelah kiri ditengah guyuran hujan dan menjerit,’
Pak, memang harganya berapa ?”. Ia menyebutkan
sejumlah harga yang sangat murah. Akhirnya saya
katakan,” ya sudah deh beli satu”. Dia mebawa kue
semprong pesanan saya didalam plastik. Sampai di
mobil,” saya serahkan uang, dan dia bengong karena
saya tidak menyerahkan uang pas. Saya tau dia pasti
bingung memikirkan kembaliannya, tapi dengan cepat
saya katakan, “kembaliannya ambil buat Bapak saja”.
Dia bengong. “ambil saja Pak, ini rejeki Bapak, memang
hak Bapak”. Dia meneguk ludah, sebelum sempat dia
mengucapkan apa-apa saya langsung menutup kaca mobil
dan pergi.

Tiba-tiba air mata ini mengalir deras melebihi
derasnya hujan diluar sana. Kalau Bapak itu tidak
menerimanya, saya tidak tahu seberapa sakitnya hati
saya, karena didalam rejeki saya ada hak mereka
termasuk hak Bapak penjaja kue semprong itu. Tiap
bulan memang selalu saya sisihkan buat mereka, tapi
mengetahui bahwa saya telah memberikan betul- betul
kepada orang yang berhak menerimanya, betul betul
kepada orang yang berhati mulia, dan betul- betul
kepada orang yang membutuhkannya, betul- betul membuat
saya merasa hidup saya begitu bermakna dan saya sangat
bersyukur atas rahmat-Nya.

Ditengah leher saya yang sakit sekali karena tercekat,
saya berdoa kepada Allah agar Bapak penjaja kue
semprong tersebut dan keluarganya diberikan rahmat,
kemurahan rezeki dan kemudahan hidup oleh Allah. Dan
saya bersyukur atas segala rahmat dan kemudahan hidup
yang diberikan Allah kepada saya dan keluarga saya.

Hujan masih deras mengguyur kaca mobil. Mudah-mudahan
hujan cepat reda supaya bapak penjaja kue semprong
tadi bisa pulang tanpa kehujanan. (ldf 30/7/06)

No comments: